Petualangan 100km Menjelajahi Kerajaan Kuno Asia Tenggara

Jalur kuno yang melintasi Kamboja ini dipenuhi dengan jembatan tua, kuil-kuil tak ternama, dan rahasia berabad-abad yang masih menyimpan misteri.

Saya memulai perjalanan dengan minivan di pagi hari pada hari ulang tahun saya. Pada etape terakhir, saya bertemu seorang pria Kamboja yang tidak saya kenal sebelumnya, yang mengendarai sepeda motor trail.

Pukul 07:00, saya keluar dari lift besi di Raffles Grand Hotel d’Angkor Siem Riep, mirip dengan apa yang saya bayangkan dilakukan Jackie Kennedy selama kunjungannya di sini pada tahun 1967.

Saya kemudian bertemu dengan pemandu saya, Pheakdey “Dey” Sieng, dari operator tur About Asia.

Kunjungan saya ke Siem Reap adalah untuk menjelajahi East Royal Road, rute sepanjang 100 km yang menghubungkan kuil kuno Angkor Wat, Beng Mealea, dan Preah Khan Kompong Svay.

Kekaisaran Khmer, yang menguasai sebagian besar Asia Tenggara dari tahun 802 hingga 1431 M, terkenal dengan kuil-kuilnya.

Kekuatan mereka sebagian besar bersumber dari jaringan jalan sepanjang 3.000 km yang menghubungkan ibu kota bersejarah Angkor dengan berbagai daerah di Thailand, Vietnam, Laos, dan Myanmar modern.

Meskipun ada lima jalan kerajaan yang menghubungkan ibu kota dengan kota-kota provinsinya, Jalan Kerajaan Timur menyimpan koleksi infrastruktur Khmer yang paling terawat baik, termasuk jembatan, kolam, tembok, dan tanggul. Terdapat juga kuil-kuil peristirahatan yang tidak ditemukan di jalan-jalan lain, tempat peziarah dapat beristirahat, berdoa, dan bersantap.

Jalan ini juga digunakan untuk mengangkut material bangunan kuil-kuil Khmer dan perlengkapan besi untuk sistem pertahanannya.

Bangsa Khmer dikenal karena sistem irigasi mereka yang canggih, dan jalan ini dihiasi dengan jembatan-jembatan kuno yang melintasi sungai dan anak sungai. Banyak dari jembatan tersebut masih berfungsi hingga kini.

Rute ini dianggap sebagai perjalanan darat klasik bagi pengendara sepeda motor trail dan penggemar kuil. Perdana Menteri Hun Manet telah menominasikan Beng Mealea dan Preah Khan untuk menjadi situs Warisan Dunia UNESCO.

Diperkirakan situs-situs ini akan semakin populer di masa depan, sehingga saya ingin menyaksikannya sebelum terkena sorotan yang lebih besar.

Sayangnya, ada satu tantangan: cuaca yang sangat panas.

Wisatawan disarankan untuk menghindari Siem Reap di bulan April karena suhu dapat melebihi 40°C, dengan indeks UV mencapai angka 12 pada skala 1-11+.

Rencana kami adalah mengunjungi Preah Khan terlebih dahulu, kemudian melanjutkan ke Beng Mealea sebelum kembali ke Siem Reap. Kami memulai perjalanan dari Siem Reap melewati jalur tanah kuno (yang kini sebagian besar visit us mengikuti Jalan Raya 6 yang beraspal), dengan pemberhentian pertama di Kampong Kdei, jembatan sepanjang 86 m yang disokong oleh 21 lengkungan, dibangun selama pemerintahan Jayavarman VII pada abad ke-12, raja Khmer yang paling terkenal.

Jembatan berwarna karat ini juga muncul di uang kertas 5.000 Riel Kamboja. Pagarnya dihias dengan bentuk naga berkepala sembilan, makhluk yang melambangkan air dan kesuburan dalam mitologi Khmer.

“Selamat datang di jalan pijat gratis,” ujar Dey, saat kami berbelok ke jalan tanah yang bergelombang. Pijat? Rasanya seperti saya dijatuhkan dari jendela lantai dua.

Setelah satu jam perjalanan menuju Preah Khan, pemandangan Kamboja yang lebih menawan terlihat. Rumah-rumah semen digantikan dengan rumah-rumah kayu yang berdiri di atas tiang.

Seekor sapi dan anaknya berjalan santai menyeberangi jalan yang berdebu, sementara anak-anak kecil tersenyum dan melambai. Menurut Dey, mayoritas penduduk desa adalah petani yang menanam kacang mete, singkong, dan padi.

Dengan tubuh bergetar hebat, kami akhirnya tiba di Preah Khan. Berbeda dengan Angkor Wat yang dipenuhi ribuan pengunjung setiap hari, hanya sedikit wisatawan yang sampai ke Preah Khan. Kami saling tersenyum satu sama lain, seolah berbagi sebuah rahasia.